Kamis, 27 April 2017

Ta'lim al-muta'alim

    Kitab Ta’limul Muta’alim merupakan salah satu kitab atau buku yang menjadi bacaan dan kajian wajib di pesantren-pesantren salaf. Kitab karya Syekh az-Zarnuji ini berisi tentang etika dan metode bagi pelajar untuk meraih keberkahan ilmunya. Jika di pesantren modern diajarkan kitab ini juga, mungkin Anda bisa menambahkan poin-poin penting yang terkandung dalam kitab tersebut.
Kaum santri sangat mempertimbangakn unsur berkah dalam keilmuan ketimbang pencapaian prestasi lahiriah. Kitab ini tak seberapa tebal, namun sarat dengan ajaran etika. Metode menuntut ilmu ala Syekh az-Zarnuji ini dirangkum dari apa yang didengar dan dilihatnya, diajarkan dan dikisahkan oleh guru-guru beliau.
Beliau terinspirasi untuk menyusun kitab Ta’lim didasari keprihatinan melihat fenomena pelajar akhir zaman yang banyak berilmu namun tak memperoleh kesuksesan dan keberkahan.
Kitab Ta’limul Muta’alim terdiri dari 13 pasal. Syekh Ibrahim bin Ismail telah mensyarahi kitab tersebut. Para ulama pesantren salaf menandaskan bahwa keberhasilan mereka menyebarkan ilmu dan mempertahankan eksistensi pesantren adalah karena mengamalkan metode Ta’limul Muta’alim. Apa saja isi kitab tersebut? Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa Ta’limul Muta’alim menekankan 5 hal penting dalam menuntut ilmu. Berikut penjelasannya:

1. Niat Lurus

Syekh az-Zarnuji menganjurkan bahwa pelajar haruslah mendasari pencarian ilmu dengan niat yang lurus. Karena mencari ilmu yang tampaknya adalah amal akhirat bisa saja tidak berpahala karena niat yang salah. Niat dalam menuntut ilmu antara lain mencari rida Allah, menghilangkan kebodohan atau ketidaktahuan dari diri sendiri dan orang lain (ketika nanti telah mengajarkan kepada orang), menghidupkan agama dan menjaga kelestarian Islam. Menuntut ilmu juga sebagai ekspresi syukur atas nikmat akal dan kesehatan.
Menuntut ilmu dengan orientasi mencari jabatan dan agar mudah mengumpulkan kekayaan adalah niat yang salah. Kecuali bila memang kedudukan, jabatan dan kekayaan itu dari awal diniatkan sebagai sarana berjuang menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Abu Hanifah berkata dalam syairnya yang dinukil dalam kitab tersebut, “Siapa mencari ilmu demi akhirat, beruntunglah ia dengan anugerah. Kerugianlah bagi pencari ilmu, hanya demi menggapai kehormatan di hadapan manusia.

2. Memilih guru, Mengagungkan Ilmu dan Ahlinya

Doktrin terkuat dalam tradisi pesantren yang berlandaskan kitab Ta’lim adalah hormat atau takzim guru. Penghormatan terhadap seorang pengajar demikian ditekankan. Bukan saja sosok guru, tetapi bahkan keluarga dan kerabatnya.
Maka tak heran jika putra-putri kiai sangat disegani oleh para santri. Hal ini merupakan bagian dari ta’zhim al-‘ilm atau mengagungkan ilmu. Menghormati seseorang karena keilmuannya adalah bagian dari menghormati ilmu.
Termasuk dalam hal ini, pelajar dianjurkan menjaga dan memuliakan buku atau kitab yang dipelajarinya. Misalnya, dengan menata rapih dengan meletakkan kitab-kitab berkaitan tafsir paling atas, lalu kitab yang berkaitan dengan hadis, kemudian kitab fikih dan seterusnya. Tidak boleh meletakkan sembarangan kitab, menjaga kesucian saat belajar dan membaca kitab.
Syekh az-Zarnuji menandaskan, “Siapa yang menyakiti gurunya, maka ia pasti terhalang keberkahan ilmunya, dan hanya sedikit saja ilmunya bermanfaat.”
Terkait memilih guru, Ta’limul Muta’alim menyarankan agar mencari guru yang paling alim, wara (menjaga diri dari syubhat dan haram), dan yang paling tua. Memang, bagaimana guru yang kita jadikan rujukan, menentukan akan bagaimana corak kita sebagai muridnya.

3. Belajar Tekun dan Musyawarah


Proses itu yang utama. Entah bagaimana hasilnya, tetapi ketekunan dan kekuatan tekad dalam belajar sangat dianjurkan. Di sisi lain, pesantren memiliki faktor X yang disebut berkah.
Banyak kisah santri yang di pesantrennya sangat terbelakang dalam keilmuan, kurang pandai, namun tetap tekun belajar, mengabdi kepada guru, ketika pulang dan terjun di tengah masyarakat justru menjadi orang yang berhasil.
Ilmu yang saat di pesantren tidak dipahami, ketika sudah dibutuhkan ternyata ia mampu menyampaikan ilmu itu. Inilah yang dalam istilah santri dengan meminjam istilah dunia tasawuf disebut al-futuh (terbukanya pemahaman).

Belajar tekun saja tidaklah cukup. Maka Syekh az-Zarnuji menganjurkan sistem musyawarah dan muzakarah, debat ilmiah, bukan debat kusir.
Tradisi diskusi ini akhirnya melahirkan sistemBahtsul Masail dalam kalangan pesantren hingga menjadi landasan organisasi NU dalam menjawab kasus keagamaan dan kasus sosial dari sisi agama.

4. Belajar di Perantauan dan Menanggung Kesusahan yang Dialami

Syekh az-Zarnuji juga menganjurkan pelajar agar pergi dari kampung halamannya demi menuntut ilmu. Ini dilakukan agar tidak terlalu banyak urusan dengan lingkungan sekitar. Ghurbah atau merantau dari tempat asal juga sangat baik untuk melatih kemandirian.
Santri juga harus menanggung kesusahan yang ditemui. Segala yang dialami dalam pencarian ilmu merupakan bagian dari perjuangan. Imam Syafii dalam syairnya mengatakan, “Siapa tidak mencicipi pahitnya belajar, ia akan menelan hinanya kebodohan selama hidup. Siapa waktu mudanya tidak sempat belajar, bacakan takbir 4 kali untuk kematiannya.”

5. Bekerja dan Berdoa agar Berkecukupan

Penjelasan yang panjang lebar membahas segala tip dan tatacara dalam belajar, mencari guru, metode hafalan, etika dengan ulama dan guru, akhirnya dipungkasi dengan mencantumkan bab yang mengupas hal-hal yang memudahkan datangnya rezeki.
Karena seorang ahli ilmu kelak selama dan setelah usai belajar pastilah akan bergelut dengan urusan harta juga. Tip yang diajarkan adalah terkait doa-doa harian dan wirid khusus. Dari istigfar hingga salawat dan bacaan tasbih.

Itulah kelima hal pokok yang diterangkan dalam Ta’lim al-Muta’alim. Tentunya tidak cukup mewakili banyak hal yang dikupas mendalam di sana. Pada praktiknya, metode Ta’lim al-Muta’alim tampak hanya dipraktikkan oleh santri terhadap pelajaran agama dan yang terkait. Contoh masalah memuliakan buku pelajaran. Kitab-kitab karangan ulama mendapat tempat khusus dan pemghormatan lebih ketimbang buku-buku yang bukan karya ulama. Misalnya saja, kitab Ta’lim yang tipis itu akan dicium santri seusai pengajian. Lain halnya buku LKS atau panduan belajar yang kadang diselipkan di kantong celana. -Nasrudin-

Kamis, 20 April 2017

MAKALAH ETIKA PROFESI KEGURUAN


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
            Secara operasional, tujuan pendidikan prajabatan guru adalah pemilikan wawasan, sikap, dan keterampilan sebagai warga Negara yang berpendidikan tinggi. Penguasaan bahan ajaran, penguasaan dan pemahaman tentang segala hal yang berhubungan dengan peserta didik, penguasaan teori dan keterampilan keguruan, pemilikan kemampuan melaksanakan tugas professional dalam  hubungannya dengan latar kerjanya secara organisatoris.
            Peranan profesi guru dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah diwujudkan oleh mencapai tujuan pendidikan yang berupa perkembangan siswa secara optimal. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang seorang pendidik tidak melakukan kewajibannya sebagai mana mestinya, seharusnya seorang guru tugasnya sesuai UU Negara kita yang ada tujuh perannya  yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik. Namun dalam kenyataannya terkadang beberapa pendidik hanya melakukan dua tugasnya yaitu mengajar dan mengevaluasi, hal ini cenderung terjadi dan sangat meresahkan bagi seluruh lapisan anak didik baik di tingkat SD, SMP, SMA, maupun tingkat yang lebih tinggi yaitu perkuliahan.
            Disini peran etika profesi keguruan sangat penting yaitu yang memiliki sasaran terhadap sikap keprofesionalan seorang guru yang harus mempunyai empat kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran yang ahli dalam menyampaikannya. Dalam makalah ini akan membahas materi tentang “Sasaran Etika Profesi Keguruan” sebagai tugas terstruktur mata kuliah Etika Profesi Keguruan.      
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sasaran etika profesi keguruan ?
2.      Bagaimana sararan sikap profesional ?
3.      Bagaimana pengembangan sikap profesional guru ?

  1. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sasaran etika profesi keguruan.
2.      Untuk mengetahui sasaran sikap profesional guru.
3.      Untuk mengetahui pengembangan sikap profesional guru.












BAB II
PEMBAHASAN

  1. Sasaran Etika Profesi Keguruan
Pada dasarnya sasaran etika profesi keguruan terletak pada sikap keprofesionalan seorang guru. Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, “Sikap” adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Sedangkan Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah Perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi ( kokasi, 2011: 84).
Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/ menghindari sesuatu. “Profesional” adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, atau kecakapan yang memiliki standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).
“Pekerjaan yang bersifat profesional” adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana, 1988 dalam usman, 2005). Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan ( kokasi, 2011: 85).
Menurut PP No. 74 Tahun 2008 pasal 1.1 Tentang Guru, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalan pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya dijelaskan menurut Arifin (2000), bahwa guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai:
1.      Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
2.      Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
3.      Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000). Berdasarkan beberapa pengertian diatas ditambah dengan pendapat para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa, Sikap Guru Profesional adalah Suatu Kepribadian atau respon yang menggambarkan kecenderungan untuk bereaksi sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran yang ahli dalam menyampaikannya.
 Kompetensi di sini meliputi kompetensi yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
1.    Kompetensi Pedagogik
Kompetensi Pedagogik adalah kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembanganpeserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub kompetensi dalam kompetensi Pedagogik adalah :
a.       Memahami peserta didik secara mendalam yang meliputi memahami peserta didik dengan memamfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.
b.      Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran yang meliputi memahmi landasan pendidikan, menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c.       Melaksanakan pembelajaran yang meliputi menata latar ( setting) pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d.      Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran yang meliputi merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan denga berbagai metode,menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level), dan memamfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
e.       Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya meliputi memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasipeserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi nonakademik.
2.    Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sub kompetensi dalam kompetensi kepribadian meliputi :
    1.  Kepribadian yang mantap dan stabil meliputi bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga menjadi guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
    2. Kepribadian yang dewasa yaitu menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etod kerja sebagai guru.
    3.   Kepribadian yang arif adalah menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemamfaatan peserta didik, sekolah dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
    4. Kepribadian yang berwibawa meliputi memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadappeserta didik dan memiliki perilaku yangh disegani.
    5.   Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan meliputibertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.
3.    Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.
a.         Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung pelajaran yang dimampu.
b.      Mengusai standar kompentensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang dimampu.
c.         Mengembangkan materi pembelajaran yang dimampu secara kreatif.
d.      Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
e.            Memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan mengembangakan diri.
4.    Kompetensi Sosial
Kompetensi Sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
a.       Bersikap inkulif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, raskondisifisik, latar belakang keluarga, dan status sosial keluarga.
b.      Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat.
c.       Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah RI yang memiliki keragaman social budaya.
d.      Berkomunikasi dengan lisan maupun tulisan (http://Kompetensi.info)

  1. Sasaran Sikap Profesional
Sikap dan Pola tingkah laku seorang guru yang berhubungan dengan profesionalisme haruslah sesuai dengan sasarannya, Sasaran Sikap Profesional Guru diantaranya:
1.      Sikap Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir sembilan kode etik guru Indonesia disebutkan bahwa: “guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan”. (PGRI, 1973). Kebijaksanaan pendidikan dinegara kita dipegang oleh pemerintah, dalam hal departemen pendidikan dan kebudayaan. Dalam rangka pembangunan dibidang pendidikan di Indonesia, departemen pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang merupakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya, yang meliputi antara lain : Pembangunan gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan belajar antara lain dengan melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu pendidikan, pembinaan generasi muda dengan menggiatkan kegiatan karang taruna, dan lain-lain(Hermawan, 1979: 110).
Guru merupakan unsur aparatur negara dan abdi negara. Karena itu, guru mutlak perlu mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan  pemerintah dalam bidang pendidikan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijasanaan. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ialah segala peraturan-peraturan pelaksanaan baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di pusat maupun di daerah, maupun departemen lainnya dalam rangka pembinaan pendidikan di negara.
 Contoh, peraturan tentang (berlakunya) kurikulum sekolah tertentu, pembebasan uang sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), ketentuan yentang penerimaan murid baru, penyelenggaraan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA) dan lain sebagainya. Untuk menjaga agar guru Indonesia tetap melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, Kode Etik Guru Indonesia mengatur hal tersebut, seperti yang tertentu dalam dasar yang kesembilan dari kode etik guru.
Dasar ini juga menunjukkan bahwa guru indonesia harus tunduk dan taat kepada pemerintah indonesia dalam menjalankan tugas pengabdiannya, sehingga guru indonesia tidak mendapat pengaruh yang negatif dari pihak luar, yang ingin memeksakan idenya melalui dunia pendidikan. Dengan demikian, setiap guru indonesia wajib tunduk dan taat kepada segala ketentuan-ketentuan pemerintah. Dalam bidang pendidikan ia harus taat kepada kebijakan dan peraturan, baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun departemen lain yang berwenang mengatur pendidikan, di pusat dan di daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia(Hermawan, 1979: 111).
2.      Sikap Terhadap Organisasi Profesi
Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Dasar ini menunjukan kepada kita betapa pentingnya peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian. PGRI sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan, agar lebih berdayaguna dan berhasil guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung kepada kesadaran para anggotanya, rasa tanggung jawab dan kewajiban para anggotanya.
 Organisasi PGRI merupakan suatu sistem, dimana unsur pembentuknya adalah guru-guru. Organisasi harus membina mengawasi para anggotanya, yang dimaksud dengan organisasi adalah semua anggota dengan seluruh pengurus dan segala perangkat dan alat-alat perlengkapannya. Setiap anggota harus memberikan sebagian waktunya untuk kepentingan pembinaan profesinya, dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oeh para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut, sehingga permanfaatanya menjadi efektif dan efisien.
Dalam dasar keenam kode etik itu dengan gamblang juga dituliskan, bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Untuk meningkatkan mutu suatu profesi, khususnya profesi keguruan, dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, study perbandingan, dan berbagai bidang akademik lainya. Peningkatan mutu profesi keguruan dapat telah direncanakan dan dilakukan secara bersamaan atau berkelompok ( Hermawan, 1979: 112).
Kalau sekararang kita lihat kebanyakan dari usaha peningkatan mutu profesi diprakarsai dan dilakukan oleh yang dilakukan oleh pemerintah, maka diwaktu mendatang diharapkan organisasi profesionallah yang seharusnya merencanakan dan melaksanakanya, sesuai dengan fungsi dan peran organisasi itu sendiri.
3.      Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 kode etik guru disebutkan bahwa “Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, kekeluargaan dan kesetikawanan sosial”. Ini berarti bahwa :
a.         Guru hendaknya menciptakn dan mejmelihara hubungan sesama guru dalam     lingkungan kerjanya.
b.      Guru hendaknya menciptakan dan memlihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia menunjukan betapa pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan mewujudkan perasaan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi. Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan formal dan hubungan kekeluargaan.
4.      Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Kerja
Agar setiap personel sekolah dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mutlak  adanya hubungan yang baik dan harmonis diantara sesama personal yaitu hubungan baik anatara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, dan kepala sekolah ataupun guru dengan semua personal sekolah lainya. Semua personal sekolah ini harus dapat menciptakan hubungan baik dengan anak didik disekolah tersebut.             Sikap profesional lain yang perlu ditumbuhkan oleh guru adalah sikap ingin bekerja sama, saling harga menghargai, saling pengertian, dan rasa tanggung jawab.
  Jika ini sudah berkembang, akan tumbuh rasa senasib sepenanggungan serta menyadari akan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dengan mengorbanakan kepentingan orang lain (Hermawan,1979: 113).
5.      Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Keseluruhan
Dalam hal ini kita harus mengakui dengan jujur bahwa sejauh ini profesi keguruan masih memerlukan pembinaan yang sungguh-sungguh. Rasa persaudaraan seperti tersebut, bagi kita masih perlu di tumbuhkan sehingga kelak akan dapat kita lihat bahwa hubungan guru dengan teman sejawatnya berlangsung seperti halnya dengan profesi kedokteran.
6.      Sikap Terhadap Anak Didik
Dalam kode etik guru indonesia dengan jelas dituliskan bahwa : Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila,  dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yakni : Tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Tujuan pendidikan nasional dengan jelas dapat dibaca dalam (UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional), yakni membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing peserta didik, bukan mengajar, atau mendidik saja. Pengertian seperti yang dikekmukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dari sistem itu  adalah “ing angarso sung tulodo, ing  madyo mangun karso, dan tut wuri handayani”.
Ketiga kalimat itu mempunyai arti bahwa pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh dan harus dapat mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkundung maksud membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya dan guru memperhatikannya. Dalam handayani berati guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti membimbing atau mengajarnya( Ma’mur, 2010: 130). Dengan demikian membimbing mengandung arti bersikap menentukan kearah pembentukan manusia yang seutuhnya yang berjiwa pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya menurut kehendak sang pendidik.
Motto tut wuri handayani sekarang telah diambil menjadi motto dari departemen pendidikan dan kebudayaan RI. Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani tidak hanya berilu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Oleh Karenanya, Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja.
Tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani dan sosial sesuai dengan dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan tantangan dalam kehidupannya sebagi insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru.
7.      Sikap Terhadap Tempat Kerja
Sudah menjadi perkembangan umum bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktifitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru, dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya. Untuk menciptakan suasana kerja yang bauk ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: Guru sendiri dan hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat sekeliling Terhadap guru sendiri dengan jelas juga dituliskan dalam salah satu butir dari kode etik yang berbunyi : “Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang keberhasilan proses belajar mengajar”.
Oleh sebab itu, guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu dengan berbagai cara, baik dengan penggunaan metode mengajar sesuai, maupun dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi kelas yang mantap, ataupun pendektan lainnya yang diperlukan( Ma’mur, 2010: 131).
8.      Sikap Terhadap Pemimpin
Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar, guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak atasan. Dari organisasi guru, ada strata kepemimpinan mulai dari pegurus cabang, daerah, sampai kepusat. Begitu juga sebagai anggota keluarga besar DEPDIKBUD (Departement Pendidikan dan Kebudayaan), ada pembagian pengawasan mulai dari kepala sekolah dan seterusnya sampai kementri pendidikan dan kebudayaan.
9.      Sikap Terhadap Pekerjaan
Profesi guru berhubungan dengan anak didik, yang secara alami mempunyai persamaan dan perbedaan. Tugas melayani orang yang beragam sangat memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, terutama bila berhubungan dengan peserta didik yang masih kecil. Barang kali tidak semua orang dikarunia sifat seperti itu, namun bila seseorang telah memilih untuk memasuki profesi guru, ia dituntut untuk belajar dan berlaku seperti itu. Untuk meningkatkan mutu profesi secara sendiri-sendiri, guru dapat melakukannya secara formal maupun informal.
 Secara formal, artinya guru mengikuti berbagai pendidikan lanjutan atau kursus yang sesuai dengan bidang tugas, keinginan, waktu, dan kemmapuannya, Secara informal guru dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya melalui media masa seperti televisi, radio, majalah ilmiah, Koran, dan sebagainya. Didalam Kode Etik Guru Indonesia butir keenam ditujukan kepada guru, baik secara pribadi maupun secara kelompok, untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya, tidak mungkin dapat meningkatkan mutu dan martabat profesinya bila guru itu tidak meningkatkan atau menambah pengetahuan dan keterampilannya, karena ilmu dan pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai dengan kemajuan zaman( Ma’mur, 2010: 132).

  1. Pengembangan Sikap Profesional Guru
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu professional, maupun mutu layanan, guru harus pula meningkatkan sikap professionalnya. Ini jelas berarti bahwa ketujuh sasaran penyikapan yang telah dibicarakan harus selalu dipupuk dan dikembangakan ( Achmad, 1991: 90). Pengembangan sikap profesional ini dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
1.      Pengembangan Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan seorang guru harus dididik dalam segala hal (ilmu, pengetahuan, sikap dan keterampilan) karena tugasya bersifat unik, guru selalu menjadi panutan sekelilingnya. Oleh sebab itu, bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu menjadi perhatian siswa dan masyarakat. Pembentukan sifat yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya dilembaga pendidikan perguruan tinggi. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap profesional di rancang dan dilaksanakan selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan ( Achmad, 1991: 90).
Sering juga pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai hasil sampingan (by-product) dari pengetahuan yang di peroleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin, misalnya dapat terbentuk sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedisiplinan penggunaan aturan dan prosedur yang telah di tentukan. Sementara itu tentu saja pembentukan sikap dpat di berikan dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan khusus yang di rencanakan, sebagaimana halnya mempelajari pedoman pengahayatan dan pengalaman pancasila (P4) yang diberikan kepada seluruh siswa sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2.      Pengembangan Sikap Selama dalam Jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Akan tetapi peningkatan harus terus dilakukan dengan cara formal seperti mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya ( Achmad, 1991: 91). Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu:
a)      Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan men ntode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;
b)      Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
c)      Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
d)     Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu ( Achmad, 1991: 92). Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik.









BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1.         Pada dasarnya sasaran etika profesi keguruan terletak pada sikap keprofesionalan seorang guru. Sikap Guru Profesional adalah suatu kepribadian atau respon yang menggambarkan kecenderungan untuk bereaksi sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran yang ahli dalam menyampaikannya, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
2.         Sikap dan Pola tingkah laku seorang guru yang berhubungan dengan profesionalisme haruslah sesuai dengan sasarannya, Sasaran Sikap Profesional Guru diantaranya:
a.       Sikap terhadap peraturan Perundang-Undangan
b.      Sikap terhadap Organisasi Profesi
c.       Sikap terhadap teman sejawat
d.      Hubungan guru terhadap lingkungan kerja
e.       Hubungan guru terhadap lingkungan keseluruhan
f.       Sikap terhadap tempat kerja
g.      Sikap terhadap pemimpin
h.      Sikap terhadap pekerjaan.
3.    Pengembangan sikap profesional dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
B.  Saran
Sebagai guru yang profesional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara terus menerus. Sasaran penyikapan itu meliputi penyikapan terhadap perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, peserta didik, tempat kerja, pemimpin dan pekerjaan. Sebagai jabatan yang harus menjawab tantangan perkembangan masyarakat, jabatan guru harus selalu di kembangkan dan dimutakhirkan. Dalam bersikap juga guru harus selalu mengadakan pembaruan sesuai tuntutan tugasnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Asmani Jamal Ma’mur. 2010. Tips Menjadi Guru. Yogyakarta : Diva Press.

Hermawan S,R. 1979. Etika Keguruan Suatu Pendekatan Terhadap Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta : PT.Margi Wahyu.

http://kompetensi.info. diunduh pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 08.15 WIB.

Sanusi, Achmad, et al. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung : IKIP Bandung Departemen P dan K.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. 2011. Profesi Keguruan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.